Minggu, 23 Mei 2010

AL QOMARI TERPINANG DI TENGAH KABUT


SEKAPUR SIRIH NGUDO ROSO


SEKAPUR SIRIH NGUDO ROSO

SEKAPUR SIRIH NGUDO ROSO TENTANG NOVEL AL QOMARI TERPINANG DI TENGAH KABUT

Bismillaah.
Novel, tak ubahnya sebagai masakan. Ukuran kualitas masakan bukan ditentukan oleh bahan dan sarana yang terkesan mewah. Banyak orang orang yang sering beraktifitas di perkotaan, justru sangat merindukan masakan yang tersaji cukup sederhana, baik bahan maupun tempat. Ukurannya adalah ‘enak’ dan ‘nyaman’, seperti ‘nasi urap’ yang cukup di lahap di bawah pohon pinus.
Banyak nuansa pedesaan memiliki kisah tentang interaksi yang terjadi diantara manusia. Tidak ada mall, tidak ada taxi maupun discotik. Tidak ada restoran, losmen dan bahkan perhotelan. Tidak ada pembicaraan tentang transaksi dunia usaha yang dilakukan bisnisman kaliber. Tapi siapa tahu, dunia yang dianggap kurang berkelas itu, malah mampu membuat suasana damai?
Sebuah karya, tidak harus ditulis terlalu banyak ramuan dan proses yang berlebihan. Cukup ada sambel, kerupuk, tempe goreng, lengkap dengan air teh hangat layaknya makan di tenda penjual nasi kucing pinggir jalan. Siapapun bebas untuk menciptakan aroma tambahan seperti duduk sambil merokok. Di tenda seperti itu pula, bahkan merokok ‘klembak menyan’ sering tidak menjadi sebuah hambatan. Asap langsung mengepul menyatu dengan udara yang masih bisa tetap segar, karena sangat luasnya hamparan tak terhijab.
Mengungkap sekelumit kehidupan masyarakat pedesaan selalu menarik. Sekalipun adonan menunya tidak terlalu menyengat, namun masih memiliki aroma khas yang kental dengan adanya integritas perilaku budaya dan geografis alam sekitarnya. Pada kehidupan bermasyarakat, butuh sosok figur yang senantiasa menjadi panutan agar eksprtesi perilaku keseharian tidak begitu rumit. Tinggal mengikuti apa kata figur pimpinan, maka dalam mempertahankan eksistensi budaya ‘unggah-ungguh’ terus bisa terus terperhatikan. Norma budi yang merupakan warisan leluhur atau pendahulunya, tidak bisa ‘diobrak-abrik’ begitu saja. Rasa sosial dalam kehidupan yang kemudian dipengaruhi oleh peradaban Islam, di ramu menjadi satu dalam menciptakan keseimbangan antara budaya orang jawa dan keterikatannya dengan dogma agama. Di sinilah mulai tercipta setiap individu mampu menempatkan diri dalam posisi yang sesungguhnya, sehingga memunculkan sifat menghargai dan menghormati pada orang yang dipandang memiliki ilmu agama, atau yang disebut Kyai maupun Gus.
Kekuatan yang membuat seseorang menjelma menjadi Tokoh agama, sebab ia mampu memberi ketenangan lahir batin dan memberi petunjuk arah kehidupan yang memiliki dampak psyicologis masing-masing individu secara tepat. Selalu saja ada kekuatan yang tidak bisa pudar begitu saja, sebab menjelma menjadi ‘keyakinan’ bahwa hidup itu tidak semata berada di ‘maya pada’, bahkan hidup yang sekarang dijalani setiap manusia tak lebih hanya sekedar mimpi, dan hidup yang sesungguhnya adalah ‘abadi’, tempatnya di ‘alam baqa’
Tapi bagaimana bila kemudian peran Tokoh agama sendiri telah menghianati kepercayaan umat kepadanya? Bagaimana bila Tokoh agama itu memiliki ambisi untuk mempertahankan pengaruhnya untuk sesuatu tujuan keuntungan bagi dirinya sendiri?
Itulah awal kabut mulai mengudara dan menciptakan suasana sedikit menjadi gelap. Adonan yang mestinya sedap untuk menjadi sajian kehidupan, mulai menguapkan bau yang membuat hidung terus mengendus.
Di setiap kehidupan, selalu saja ada kisah cinta, benci, jengkel, marah, bersaing, dan ada istilah ‘gejeglong’. Seperti sebuah masakan yang cukup mengundang selera. Kerinduan pada ‘sambal trasi’ bisa saja membuat ‘sakit perut’.
Siapa yang harus mempertanggungjawabkan sesuatu peristiwa bila sudah terjadi demikian? Apakah yang bikin sambal atau yang makan sambal? Apakah pemilik warung makan yang menyajikan, atau ada pihak ke tiga yang masih sembunyi? Fenomena yang berawal dari sebuah ungkapan sederhana dan sepele, bisa melebar menjadi friksi yang terus mendesas menjadi pertentangan.
Kadang yang dinamakan ‘ketenangan’ bukan berarti berada dalam koridor tatanan yang sudah benar. Ketenangan dan kenyamanan bisa saja diciptakan dalam konspirasi pada tataran kedzaliman. Di sinilah menjadi tugas Juru Dakwah untuk mampu menyibak kabut yang terus menggulung di sebuah Desa Wates.
Alur ceritanya memang tidak begitu rumit, hanya sebuah kejadian biasa dari tingkah manusia yang selalu memiliki sifat tidak sempurna. Konflik menjadi muncul karena dalam ketidak sempurnaan itu, masih saja ada orang yang tega memanfaatkannya.
Di sinilah, sejalan dengan sunatulloh, diantara sekian orang tentu masih ada yang masih bisa menerawang gejolak dengan hati yang bersih. Selalu saja ada orang yang memiliki keberanian untuk membuka cakrawala yang jauh lebih peni. Tidak harus dengan kekuatan politik praktis atau peluru pelor untuk sekedar menyingkap sesuatu yang sederhana. Dan kita selalu bisa menyusup dari setiap cerita siapapun, tak terkecuali kisah Novel ini.
Tidak perlu ada yang sakit hati atau menuntut, ketika sebuah kesederhaan tiba-tiba muncul di hadapan kita. Ketika kita bulas dengan ‘asap rokok klembak menyan’ yang di hisap seorang petani yang duduk di pinggir galangan sawah, sementara tubuhnya banyak berlumuran lumpur dan banyak berkeringat karena sengatan matahari. Kita kadang ikut sebal menyaksikan, apalagi kemudian mendekat dan duduk di sampingnya.
Tapi coba, kita amati dari jauh ‘kesederhaan dan kepolosan itu’, hati kita tentu akan berkata. ‘sungguh nikmat orang dengan aktifitasnya itu!” Kalau orang seperti itu saja bisa merasakan sebuah kenikmatan, mengapa kita sering gelisah, padahal kita masih bisa merokok ‘ji sam soe’, tubuh bersih, dan tidak berlepotan lumpur?
Kelengahan yang sering terjadi di benak kita ini, ada dalam kisah ‘ Al Qomari terpinang di tengah kabut’. Kabut dan debu kemunafikan yang sering menutupi hati kita yang nanar bagai bulan purnama, karena kita tak pernah bisa menangkap arti ‘kesederhanaan itu sendiri’. Siapa bilang, Nabi kita, Muhmmad SAW tak bisa bergelimpangan dengan harta kekayaan dan hidup dalam kemewahan semenjak ia memiliki pengaruh luar biasa dari penduduk Makah dan Madinah waktu itu? Mengapa Nabi memilih hidup sebagai orang miskin dan suka berkumpul dengan orang miskin. Di mana letaknya orang-orang seperti itu sekarang? Ada istilah, kehidupan di kota jauh lebih bergengsi dan memiliki kesan mewah. Ada restoran, ada gedung-gedung yang tinggi, banyak kendaraan ribuan berlalu lalang, jalan rapi dan sulit terkikis air hujan, dan bla-bla-bla........ Tapi mengapa kita tidak mau menengok simbul kesederhaan itu, yang letaknya ada di Desa. Ada pegunungan, sawah, kebun, kali yang airnya jernih mengalir, dan bla-bla-bla.................... Sekali lagi, cuma di Desa barangkali, kesederhaan itu bisa ternikmati.
Biarlah Kyai Hambali terus menggali ketika ia bertemu Kyai Rohmat yang memberi isyarat, bahwa Desa Wates akan mengalami sebuah peradaban kegelapan. Kegelapan yang diartikan sebagai pengaruh globalisasi, yang bisa di bawa oleh seorang yang datang dari dunia kehidupan orang kota.
Biarlah Gus Badrun terus menerjemah dan kemudian mengolah masyarakat Desa Wates untuk senantiasa waspada.
Biralah Roman dan Rofiq bekas Napi Nusa Kambangan, mencoba menelusur adanya ketidak beresan suasana Desa Wates, yang sebenarnya tanpa sadar tengah menyembunyikan bangkai yang bisa menebar penyakit dan mematikan anggapan.
Biarlah Zulaikha menjadi gundah dan bimbang menentukan sikap dalam mencari cinta yang di dalamnya tentu cuma berhadapan dengan tantangan.
Biarlah Afifah terus mengumpat dan minggat dari Desa Wates sekedar mengikuti kata hatinya ketika benturan keras telah menguras seluruh jiwa yang dirasakan seakan-akan telah membuat dirinya nista.
Biarlah Menuk terus mengumpat dan tak berhenti menghujat kehidupan yang telah runyam.
Ada apa di Desa Wates, sehingga kabut menyelimuti sampai orang hanya mampu meraba dalam berjalan? Mungkin sajian novel seperti ‘Al Qomari terpinang di tengah kabut’ dapat sedikit menjawab untuk bagaimana kita memahami sebuah kesederhaan.

Alhamdulillaah
Penulis.
Maspar ARS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar